Tulisan opini membahas pemikiran kritis dari Ibnu Khaldun (1332–1406 M), ia seorang filsuf dan sosiolog, dalam karyanya Muqaddimah memberikan analisis mendalam tentang siklus peradaban. Ia menjelaskan bahwa ketimpangan struktural muncul ketika penguasa dan elite ekonomi memanfaatkan posisi mereka untuk mengeksploitasi rakyat kecil, yang pada akhirnya melemahkan solidaritas sosial (asabiyyah) dan mempercepat keruntuhan peradaban (Rosenthal, 1967: 22).
Dalam pandangan kritis Ibnu Khaldun, ketimpangan bukan sekadar hasil dari kondisi ekonomi, tetapi juga akibat dari relasi kuasa yang timpang. Ketika negara hanya berfungsi untuk melayani kepentingan elite, maka distribusi kekayaan menjadi tidak adil. Kondisi ini menciptakan eksploitasi struktural yang terus memperlebar jurang antara kelas kaya dan miskin.
Di Indonesia, ketimpangan ekonomi bukan hanya fenomena statistik tetapi juga produk dari sistem yang memperkuat dominasi elite melalui kebijakan yang tidak berpihak kepada masyarakat marginal. Korupsi dan penyalahgunaan dana publik adalah salah satu bentuk konkret dari eksploitasi ini. Sebagaimana Ibnu Khaldun mencatat, “Ketidakadilan struktural adalah akar dari kehancuran masyarakat. Ketika penguasa lupa akan tanggung jawabnya terhadap rakyat, kehancuran adalah keniscayaan” (Rosenthal, 1967: 34).
Penyalahgunaan Dana Desa dan Dampaknya pada Masyarakat Marginal
Program Dana Desa, yang diperkenalkan pada tahun 2015, adalah upaya pemerintah Indonesia untuk memberdayakan masyarakat pedesaan melalui alokasi anggaran langsung ke desa-desa. Namun, dalam implementasinya, program ini menjadi cerminan ketimpangan struktural yang dianalisis oleh Ibnu Khaldun. Berdasarkan laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga tahun 2023 terdapat lebih dari 800 kasus penyalahgunaan Dana Desa, dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp3 triliun (KPK, 2023).
Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan di tingkat desa sering dimanfaatkan oleh elite lokal untuk memperkaya diri, sementara masyarakat desa tetap terjebak dalam kemiskinan struktural. Sebagai contoh, di salah satu desa di Kabupaten Lampung Timur, kepala desa menggunakan sebagian besar dana untuk membangun rumah pribadinya, sementara proyek infrastruktur desa yang direncanakan tidak pernah terlaksana.
Dalam paradigma kritis Ibnu Khaldun, praktik ini bukan sekadar tindakan individu yang korup tetapi produk dari sistem yang memungkinkan kekuasaan digunakan secara sewenang-wenang tanpa pengawasan yang efektif. Ketimpangan ini semakin memperburuk posisi masyarakat marginal, yang tidak memiliki akses untuk melawan dominasi elite lokal. Ibnu Khaldun menyebut kondisi ini sebagai “penyakit kronis peradaban,” di mana relasi kuasa yang tidak adil merusak solidaritas sosial dan memperlemah fondasi masyarakat (Alatas, 2006: 45).
Rekonstruksi Sistem Ekonomi yang Berkeadilan
Untuk mengatasi ketimpangan struktural ini, paradigma kritis Ibnu Khaldun menawarkan pendekatan yang menantang struktur dominasi dan mengevaluasi ulang relasi kuasa dalam sistem ekonomi. Dalam konteks Indonesia, langkah-langkah berikut dapat diambil untuk merekonstruksi sistem yang lebih berkeadilan:
1. Redistribusi Kekuasaan melalui Demokratisasi Ekonomi: Ibnu Khaldun menekankan pentingnya keadilan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan. Di Indonesia, perlu ada kebijakan yang memberdayakan masyarakat desa untuk memiliki kontrol lebih besar terhadap alokasi dana publik. Misalnya, program partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan Dana Desa dapat menjadi cara untuk mengurangi dominasi elite lokal.
2. Meningkatkan Akuntabilitas melalui Pengawasan Kolektif: Ibnu Khaldun percaya bahwa pemerintahan yang adil hanya dapat terwujud jika ada pengawasan kolektif dari masyarakat. Di Indonesia, mekanisme pengawasan Dana Desa dapat diperkuat melalui transparansi berbasis teknologi, seperti platform daring untuk mempublikasikan penggunaan dana secara real-time. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk langsung memantau penggunaan anggaran dan melaporkan penyimpangan.
3. Edukasi Kritis bagi Aparatur dan Masyarakat: Dalam paradigma Ibnu Khaldun, pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mentransfer pengetahuan tetapi juga membangun kesadaran kritis terhadap relasi kuasa yang timpang. Program pelatihan bagi aparatur desa tentang pengelolaan dana yang transparan dan beretika perlu diintegrasikan dengan upaya pemberdayaan masyarakat desa untuk memahami hak mereka sebagai warga negara. Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi aktor aktif dalam melawan ketidakadilan struktural.
4. Menghidupkan Solidaritas Sosial (Asabiyyah): Salah satu gagasan utama Ibnu Khaldun adalah pentingnya solidaritas sosial untuk menjaga stabilitas dan kemakmuran masyarakat. Dalam konteks Indonesia, penguatan solidaritas dapat dilakukan melalui pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas, seperti koperasi desa atau usaha bersama. Program-program ini tidak hanya menciptakan kemandirian ekonomi tetapi juga memperkuat relasi sosial di tingkat akar rumput.
Kesimpulan
Ketimpangan struktural di Indonesia, seperti yang terlihat dalam kasus penyalahgunaan Dana Desa, adalah tantangan serius yang membutuhkan pendekatan kritis untuk menyelesaikannya. Pemikiran Ibnu Khaldun menawarkan wawasan mendalam tentang bagaimana ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan kekuasaan dapat merusak solidaritas sosial dan memperlemah masyarakat.
Dengan menerapkan paradigma kritis Ibnu Khaldun—yang berfokus pada penghapusan dominasi dan rekonstruksi sistem yang adil—Indonesia dapat membangun sistem ekonomi yang lebih manusiawi. Sebagaimana Ibnu Khaldun menulis, “Ketidakadilan struktural adalah penghalang terbesar menuju kemakmuran. Hanya dengan keadilan, solidaritas, dan pengawasan kolektif, masyarakat dapat berkembang” (Rosenthal, 1967: 34).
Reformasi ini tidak hanya membutuhkan perubahan kebijakan tetapi juga transformasi kesadaran kolektif untuk melawan eksploitasi dan ketimpangan yang sudah berakar dalam sistem. Dengan menghidupkan kembali solidaritas sosial dan memberdayakan masyarakat, Indonesia dapat bergerak menuju keadilan ekonomi yang sejati.